JABARTRUST.COM, KOTA BANDUNG – Hanzallah bin Abu Amir akan selalu dikenang sebagai salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang menempatkan perintah Allah dan Rasul di atas segalanya. Kisah hidupnya, yang dibahas secara mendalam oleh Sinyo Hendrik dalam kajian di Darul Akrim Inayah, Kota Bandung, Senin, (09/12/2024), memberikan pelajaran penting tentang keteguhan iman dan bagaimana menyikapi nikmat duniawi.
Sinyo membuka, Hanzallah berasal dari kaum Anshar, suku Aus Yastrib (Madinah), yang turut bergabung dalam barisan umat Islam sejak awal dakwah Rasulullah. Kehidupan dan perjuangannya memberikan gambaran nyata tentang bagaimana seorang mukmin seharusnya menjadikan nikmat dunia sebagai sarana menuju takwa, bukan penghalang untuk taat kepada Allah.
Ia melanjutkan, dalam Perang Uhud, Hanzallah menunjukkan keteguhan hati yang luar biasa. Malam sebelum perang, ia baru saja melangsungkan pernikahan dengan istri tercintanya. Namun, ketika panggilan jihad dari Rasulullah SAW tiba, ia segera meninggalkan kebahagiaan duniawi tanpa ragu, meskipun berada dalam keadaan junub setelah malam pertama pernikahannya.
Kesungguhan Hanzallah mengutamakan jihad dibandingkan kenikmatan pribadi menjadi teladan yang tak lekang oleh waktu. Dalam peperangan itu, Hanzallah syahid, dan Allah SWT memuliakannya dengan penghormatan luar biasa, dimandikan oleh para malaikat. Peristiwa ini membuat para sahabat dan umat Islam kagum, sekaligus menjadi pelajaran mendalam tentang arti ketakwaan dan pengorbanan, ungkapnya.
Sinyo Hendrik mengajak jamaah untuk merenungi makna dari kisah hidup Hanzallah. Ia menekankan bahwa segala nikmat yang Allah berikan kepada manusia, baik berupa pasangan hidup, anak-anak, harta, maupun kendaraan, merupakan ujian.
“Nikmat itu bisa meninggikan derajat kita di sisi Allah, tetapi juga bisa menjadi penyebab kehancuran jika kita terlena,” ujar Sinyo, seraya mengutip firman Allah dalam QS Al-An’am: 165 yang menjelaskan bahwa Allah memberikan berbagai karunia untuk menguji manusia.
Nikmat duniawi, lanjutnya, sering kali menjadi jebakan yang membuat manusia lalai dari kewajiban utamanya. Salah satu contohnya adalah kewajiban thalabul ilmi (menuntut ilmu), yang difardhukan oleh Rasulullah SAW, tetapi sering terabaikan ketika manusia sibuk mengejar kenikmatan duniawi.
Sinyo juga memberikan peringatan keras agar umat Islam tidak terperdaya oleh nikmat dunia. Ketika kenikmatan itu membuat seseorang berpaling dari Allah dan Rasul-Nya, maka nikmat tersebut berubah menjadi musibah.
“Jangan sampai istri, anak, harta, atau kendaraan yang kita miliki justru menjauhkan kita dari Allah. Karena jika demikian, Allah akan memberikan penderitaan di dunia dan akhirat,” tegas Sinyo, merujuk pada QS Al-A’raf: 94-96.
Ia menambahkan bahwa nikmat dunia tidak akan pernah kekal, sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Hijr: 88. Bahkan, ketidaksamaan nikmat yang diberikan kepada manusia tidak seharusnya menjadi alasan untuk iri hati atau kesedihan, karena yang lebih utama adalah ketaqwaan.
Kisah Hanzallah memberikan pelajaran mendalam bagi umat Islam tentang bagaimana seorang mukmin seharusnya menyikapi kehidupan. Nikmat dunia hanyalah alat untuk mencapai kebahagiaan hakiki di akhirat, bukan tujuan utama, lanjutnya.
Keteladanan Hanzallah dalam meninggalkan kenyamanan dunia untuk memenuhi panggilan jihad mencerminkan keimanan yang kokoh dan prioritas yang benar dalam hidup. Dalam situasi apapun, perintah Allah dan Rasul harus berada di atas segala kepentingan pribadi, ujarnya.
“Kisah Hanzallah mengajarkan kita untuk tidak menjadikan nikmat dunia sebagai penghalang menuju takwa. Hanya dengan ketakwaan kita bisa meraih ridha Allah dan surga-Nya,” ujar Sinyo Hendrik menutup kajian.
Ia berharap, kisah ini seharusnya menjadi bahan renungan bagi setiap muslim. Apakah nikmat dunia yang kita miliki saat ini seperti pasangan, anak-anak, harta, atau jabatan mendekatkan kita kepada Allah, atau justru menjauhkan kita dari-Nya?
Sebagaimana dijelaskan dalam QS Ali Imran: 133, surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, sudah seharusnya kita menjadikan segala nikmat sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan, bukan sebaliknya, tegasnya.
Hanzallah bin Abu Amir adalah contoh nyata bagaimana seorang mukmin mampu menjadikan nikmat dunia sebagai alat untuk meraih kebahagiaan hakiki di akhirat. Semoga kisahnya terus menjadi inspirasi bagi umat Islam sepanjang masa, pungkasnya.***(diwan)