JABARTRUST.COM, KOTA BANDUNG – Hiruk-pikuk modernitas Kota Bandung, tradisi tetap bernapas lewat harmoni sederhana alat musik tradisional bernama Karinding. Terbuat dari bambu, alat musik ini tak hanya memainkan nada unik, tetapi juga menyimpan nilai budaya dan filosofi yang dalam. Jawis, dari Karinding Attack, berbagi kisah dan wawasannya, tentang bagaimana Karinding tetap relevan di tengah gempuran globalisasi.
Karinding berasal dari wilayah Tatar Sunda dan memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan kehidupan masyarakat agraris. “Pada awalnya, Karinding digunakan sebagai alat pengusir hama di sawah. Suara lembutnya dianggap bisa menenangkan suasana alam sehingga hama seperti burung atau serangga menjauh,” jelas Jawis, Kopi Teras, Kota Bandung, Kamis, (21/11/2024).
Karinding bukan sekadar alat fungsional. Instrumen ini adalah cerminan filosofi hidup masyarakat Sunda yang menghargai kesederhanaan, keharmonisan dengan alam, dan kedamaian batin. Bagi masyarakat tradisional, memainkan Karinding bukan hanya bentuk hiburan, tetapi juga ritual untuk merefleksikan diri dan menyatukan jiwa dengan alam.
Jawis menjelaskan, meskipun terlihat sederhana, pembuatan Karinding memerlukan keahlian khusus. Karinding terbuat dari bahan utama bambu, proses pembuatannya melibatkan langkah yang teliti. “Bambu yang digunakan harus kering, tetapi tidak rapuh yang dipilih harus memiliki fleksibilitas,” ungkap Jawis. Pemotongan dan pemahatan, setelah dipilih, bahan tersebut dipotong sesuai ukuran dan dipahat hingga mencapai ketebalan tertentu. Pembuatan resonansi, bagian utama Karinding dibuat untuk menghasilkan getaran suara yang khas saat dipukul atau ditiup, jelasnya.
Menurutnya, cara memainkannya pun sederhana namun memerlukan keahlian. Pemain menempatkan Karinding di antara bibir atau dekat mulut, kemudian memukul bagian ujung alat ini sambil mengatur napas. Suara yang dihasilkan unik perpaduan nada lembut yang menyerupai getaran.
Seiring waktu, penggunaan Karinding bertransformasi. Dari alat pengusir hama, Karinding menjadi alat musik yang dimainkan dalam berbagai ritual, seperti upacara adat, pernikahan, hingga hiburan komunitas. Namun, di era modern, Karinding sempat terpinggirkan oleh maraknya alat musik Barat seperti gitar, piano, dan drum. Banyak generasi muda yang tidak lagi mengenal Karinding, apalagi memainkannya.
“Ini menjadi tantangan besar bagi pelestarian budaya lokal,” ujar Jawis. “Namun, kami percaya Karinding bisa bangkit dengan cara yang relevan.”
Jawis dan sahabat bermusiknya, Karinding Attack, contoh nyata bagaimana alat musik tradisional ini dihidupkan kembali dengan inovasi. Karinding Attack dikenal sebagai band yang memadukan suara Karinding dengan genre modern seperti metal, rock, dan bahkan elektronik.
“Kami ingin menunjukkan bahwa Karinding bisa masuk ke berbagai genre musik tanpa kehilangan jati dirinya. Kami juga ingin anak muda merasa bahwa alat musik tradisional itu keren dan bisa bersaing,” jelas Jawis.
Meski mengalami kebangkitan, Karinding tetap menghadapi ancaman dari minimnya regenerasi pemain. Jawis menekankan pentingnya edukasi sebagai salah satu kunci pelestarian.
“Perlunya workshop di sekolah-sekolah dan komunitas. Anak-anak diajarkan cara membuat dan memainkan Karinding. Mereka juga dikenalkan dengan filosofi alat musik ini,” katanya.
Edukasi ini tidak hanya bertujuan untuk melestarikan Karinding, tetapi juga untuk menanamkan rasa bangga terhadap warisan budaya lokal.
Karinding menjadi simbol ketahanan budaya lokal. Jawis percaya bahwa alat musik ini akan tetap bertahan jika masyarakat, terutama generasi muda, terus memberikan perhatian.
“Karinding bukan sekadar alat musik. Ini adalah bagian dari identitas kita sebagai orang Sunda dan sebagai orang Indonesia. Melestarikan Karinding berarti melestarikan jiwa kita,” tutup Jawis.
Karinding membuktikan bahwa tradisi tidak harus ditinggalkan. Dengan inovasi, kolaborasi, dan semangat pelestarian, alat musik ini tetap hidup, bahkan di era yang terus berubah. Dari sawah hingga panggung internasional, Karinding terus bersuara, menjadi pengingat akan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.