Kisah Ibrahim bin Adham, Raja yang Menemukan Tuhan, dari Istana ke Jalanan

JABARTRUST.COM, KOTA BANDUNG – Gemerlap kota yang tak pernah tidur, puluhan orang berkumpul untuk mengikuti Kajian bersama Yadi Sholeh, Kamis, (05/12/2024). Tema kali ini, Ibrahim bin Adham, Raja dan Wali, mengisahkan seorang raja yang rela meninggalkan tahta dan segala kemewahan untuk mencari makna kehidupan sejati. Yadi mengajak merenungi, apakah kehidupan modern yang serba materialis benar membawa kebahagiaan, atau justru menjauhkan kita dari tujuan hakiki?

Yadi Sholeh mengajak untuk memahami mengapa kisah Ibrahim bin Adham relevan dengan kehidupan modern. Menurut Yadi, kehidupan modern sering kali menyeret manusia ke dalam jebakan materialisme, di mana kebahagiaan diukur dari harta, jabatan, dan popularitas.

“Banyak dari kita yang hidup seperti raja, bukan dalam arti literal, tapi dalam gaya hidup yang mengutamakan kesenangan duniawi. Tapi apakah itu cukup? Ibrahim bin Adham menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kekayaan dan kekuasaan,” ujar Yadi.

Ia memulai dengan pertanyaan mendasar, Apa tujuan hidup kita? “Dan Ibrahim bin Adham menjawab pertanyaan ini dengan tindakannya yang radikal, meninggalkan semua yang dia miliki demi mencari kebenaran dan ketenangan jiwa,” jelas Yadi.

Yadi kemudian membahas latar belakang Ibrahim bin Adham. Ibrahim adalah seorang raja di Balkh, sebuah kota yang kaya dan strategis di Jalur Sutra pada abad ke-8. Kehidupannya sebagai raja dipenuhi dengan kemewahan, istana megah, pasukan yang setia, dan rakyat yang menghormatinya.

Baca Juga :  'Marhaenisme' Ideologi Sukarno Lahir Di Bandung Selatan

“Sebagai raja, Ibrahim memiliki segalanya,” kata Yadi. Namun, seperti banyak orang yang hidup dalam kemewahan, ia mulai merasa hampa. Kekuasaan dan harta tidak bisa mengisi kekosongan batin yang ia rasakan.

Yadi menghubungkan kondisi ini dengan fenomena existential vacuum atau kekosongan eksistensial yang sering dijelaskan oleh Viktor Frankl dalam psikologi eksistensial. “Kita sering kali merasa ada yang hilang, meskipun secara material kita memiliki segalanya,” jelas Yadi.

Puncak perubahan hidup Ibrahim bin Adham terjadi saat ia mendengar suara batin yang menggugahnya. Dalam banyak riwayat, suara itu datang saat ia sedang berburu, sebuah aktivitas yang sering ia lakukan untuk mengisi waktu luangnya sebagai raja.

“Suara itu bertanya, Apakah ini tujuan hidupmu? Apakah engkau diciptakan hanya untuk ini?,” ungkap Yadi, mengutip kisah tersebut.

Suara itu menjadi titik balik dalam hidup Ibrahim. Ia mulai merenungkan tujuan hidupnya yang selama ini hanya berputar pada kekuasaan dan kesenangan duniawi. “Ini adalah momen self-awareness, di mana seseorang mulai mempertanyakan makna keberadaannya,” kata Yadi.

Yadi menjelaskan bahwa momen ini bisa terjadi pada siapa saja. “Dalam hidup kita, sering kali ada momen di mana kita merasa ada yang salah, ada yang kurang. Dan itu adalah panggilan untuk berubah,” tambahnya.

Baca Juga :  Bentuk kepedulian Forum Doktor Komunikasi Universitas Sahid Indonesia berikan bantuan untuk korban gempa Cianjur

Setelah merenungkan panggilan tersebut, Ibrahim bin Adham mengambil keputusan yang mengejutkan, ia meninggalkan tahta dan semua kekayaannya. Ia pergi dari istana tanpa membawa apa-apa dan memulai hidup sebagai seorang pengembara.

“Ia tidak hanya melepaskan jabatan dan harta, tetapi juga identitasnya sebagai raja. Ia menjadi manusia biasa yang hidup dari hasil kerja kerasnya sendiri,” jelas Yadi.

Yadi menekankan bahwa tindakan Ibrahim adalah bentuk detachment atau pelepasan dari keterikatan duniawi. “Dia mengajarkan kita bahwa untuk menemukan kebahagiaan sejati, kita harus berani melepaskan sesuatu yang selama ini kita anggap penting,” kata Yadi.

Ia kemudian mengutip ajaran tasawuf yang mengatakan bahwa dunia adalah tempat ujian, bukan tempat tinggal. “Kita sering kali terjebak dalam kesibukan dunia, lupa bahwa tujuan akhir kita adalah Allah,” tambahnya.

Setelah meninggalkan istana, Ibrahim bin Adham hidup sebagai seorang zahid (asketis). Ia mengembara dari satu kota ke kota lain, bekerja sebagai buruh tani atau tukang kayu untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Namun, dalam kesederhanaan itulah ia menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Baca Juga :  Digemari Gen Z, UCIC Beri Pelatihan Fotografi

Yadi menjelaskan bahwa Ibrahim menjadi salah satu wali yang dihormati di dunia Islam. Banyak orang datang kepadanya untuk meminta nasihat dan bimbingan spiritual.

“Ia mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan hati. Ketika hati kita dipenuhi dengan cinta kepada Allah, tidak ada lagi kekosongan,” kata Yadi.

Yadi Sholeh mengajak untuk merenungkan pelajaran dari kisah Ibrahim bin Adham, Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat. “Tidak semua orang harus meninggalkan dunia seperti Ibrahim. Tapi kita harus menemukan keseimbangan antara kebutuhan duniawi dan spiritual,” ujar Yadi. Melepaskan Keterikatan. “Kita sering terikat pada hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Melepaskan keterikatan ini adalah langkah pertama menuju kebahagiaan sejati,” kata Yadi. Menemukan Makna Hidup. “Hidup ini singkat. Jangan habiskan hanya untuk mengejar materi. Carilah makna yang lebih dalam,” pesan Yadi.

Yadi Sholeh menutup sesi dengan refleksi mendalam, “Kita hidup di zaman yang penuh dengan godaan duniawi. Tapi kisah Ibrahim bin Adham mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada siapa kita menjadi. Jadilah manusia yang mencari Tuhan, bukan hanya dunia.”

Momen ini menjadi pengingat bahwa dalam kesibukan hidup, selalu ada ruang untuk merenung dan kembali kepada tujuan sejati kehidupan.***(diwan)