‘Marhaenisme’ Ideologi Sukarno Lahir Di Bandung Selatan

RomantikaSepeda/ foto: setneg
RomantikaSepeda/ foto: setneg

JABARTRUST.COM, BANDUNG, – Di dalam kepala Sukarno Muda keping-keping pemikiran nya selama ini mengendap sekian lama, karena pemecahan atas pertanyaan- pertanyaan itu tidak dapat ia telaah secara ilmiah atau dengan berdiskusi bersama kawan- kawan seperjuangannya.

Semua ini bermula dari pengamatan sukarno pada lingkungan sekelilingnya, dimana Sebagian besar penduduk di kepulauan Hindia Timur merupakan rakyat kecil. Meski demikian, mereka memiliki alat produksi sendiri. Seperti seorang kusir yang memiliki dokar dan kuda, petani yang memiliki petak sawah dan alat cangkulnya, seperti juga nelayan yang memiliki pancing, jala dan perahunya sendiri.

Namun alat produksi tersebut terlalu kecil dan hanya cukup untuk sekedar menopang hidup, dan tak mampu untuk menaikan harkat sosial, politik, atau ekonomi. Jelas pikir Sukarno ini bukanlah proletary sebagai mana sering di sebut aktivis komunis saat itu.

“Mereka memiliki ciri tersendiri. Mereka tidak masuk dalam salah satu bentuk stereotip yang telah di kenal. Jadi siapa mereka ini?” Renung sukarno seperti yang di ceritakan dalam otobiografi bung karno penyambung lidah rakyat indonesia” yang di tulis Cindy Adams.

Teka-teki yang belum terpecahkan oleh Sukarno muda yang saat itu berusia 20 tahun, akhirnya terjawab justru Ketika Sukarno bolos kuliah, dan bersepeda tak tentu arah mengitari Bandung. Sesampainya di suatu pesawahan di daerah Bandung Selatan, iya berhenti mengayuh dan terpaku pada sosok petani muda berbaju lusuh sedang mencangkul sendirian di sebuah petak sawah. Sukarnopun mengajaknya berbicara.

Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno dalam bahasa Sunda.

Baca Juga :  Momen Hari Lahir Pancasila, Cucu Marhaen Dapat Bantuan Renovasi Rumah

“Saya, juragan.”

“Apakah engkau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”

“O, tidak, ‘gan. Saya memilikinya sendiri.”

“Apakah kau membeli tanah ini?”

“Tidak. Itu turun-temurun diwariskan dari orang tua kepada anaknya.”

sukarno dan petani/ foto: setneg
sukarno dan petani/ foto: setneg

Persis benar dengan angan Sukarno selama ini: seorang pekerja kecil yang memiliki alat produksi sendiri. Tak sekadar petak sawah kecil, si petani juga memiliki sendiri cangkul dan bajak untuk mengolahnya. Semua itu adalah seluruh daya yang ia punya untuk menghidupi seorang istri dan empat anaknya yang tinggal di rumah gubuk nan menyedihkan.

Cukupkah?

“Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang isteri dan empat anak?” jawab si petani dengan nada kecewa.

“Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen,” tutur Sukarno.

soekarno/ foto: setneg
soekarno/ foto: setneg

Seorang marhaenis adalah orang yang mempunyai alat-alat yang kecil, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik. Perkataan marhaenisme adalah lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional. Begitu pun dengan nama Tanah Air harus menjadi lambang.

Baca Juga :  Bikers Brotherhood 1% Bikin Acara Bersama Club Motor Besar Indonesia

Kehidupan, kepribadian yang lugu, bersahaja namun tetap memiliki semangat berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya inilah, maka nama petani tersebut oleh Bung Karno diabadikan dalam setiap rakyat Indonesia yang hidupnya tertindas oleh sistem kehidupan yang berlaku. Sebagai penyesuaian bahasa saja, nama Mang Aen menjadi Marhaen.

Istilah ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Soekarno di dalam pleidoinya tahun 1930, saat Indonesia Menggugat untuk mengganti istilah proletar.

Marhaenisme pada esensinya adalah sebuah ideologi perjuangan yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan Bung karno
Menurut marhaenisme, agar mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal. Wujudnya dapat berupa tanah atau mesin/alat. Dalam konteks modern, kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi. Meskipun tidak besar, kepemilikan modal sendiri ini perlu untuk menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian.

Berbeda dengan kapitalisme, modal dalam marhaenisme bukanlah untuk ditimbun atau dilipatgandakan, melainkan diolah untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menghasilkan surplus. Petani menanam untuk mencukupi makan keluarganya sendiri, barulah menjual surplus atau kelebihannya ke pasar. Penjahit, pengrajin atau buruh memproduksi barang yang kelak sebagian akan dipakainya sendiri, walau selebihnya tentu dijual. Idealnya, syarat kecukupan-sendiri ini harus dipenuhi lebih dulu sebelum melayani pasar. Ini artinya Ketika buruh, pengrajin atau petani memproduksi barang yang tak akan dikonsumsinya sendiri, ia cuma bertindak sebagai faktor produksi bagi pihak lain, yang menjadikannya rawan untuk didikte oleh pasar atau dieksploitasi. Secara agregat (keseluruhan) dalam sistem ekonomi marhaenisme, barang yang tidak/belum diperlukan tidak akan diproduksi, sebab setiap orang/rumahtangga tentu memastikan dulu profil dan taraf kebutuhannya sendiri sebelum membuat apapun inovasi kelahiran produk baru akan terjadi manakala kebutuhannya sudah konkret betul.

makam ki marhaen/ foto:foto: httpspdiperjuangan-jabar.com pdipperjuangan
makam ki marhaen/ foto:foto: httpspdiperjuangan-jabar.com pdipperjuangan

Ki Marhaen sendiri sudah wafat pada tahun 1943. Makam Ki Marhaen berada di Jalan Batununggal Kampung Cipagalo, RT 04/03, Kelurahan Mengger, Kecamatan Bandung Kidul, Kota Bandung.

Baca Juga :  Alasan Mengapa Kuda Lebih Suka Tidur dalam Posisi Berdiri

Makam ini berada di paling pojok di pinggir pemukiman padat penduduk. Untuk mencapai ke lokasi makam ini harus melewati gang kecil padat penduduk yang berkelok-kelok dan gang ini hanya bisa dilewati oleh dua motor. Tetapi ada dua jalur untuk mencapai lokasi ini, pertama dari arah Jalan Bojongsoang menuju Mengger dan bisa juga melewati peruamahan Batununggal Indah***