Melestarikan Domba Adu, Merawat Warisan Budaya Sunda di Era Modern

JABARTRUST.COM, LEMBANG – Gemuruh tabrakan tanduk domba di arena pertandingan, tersimpan nilai-nilai budaya, filosofi kehidupan, dan kebersamaan masyarakat Sunda yang telah bertahan selama berabad-abad. Tradisi Domba Adu, yang lahir dari kearifan lokal peternak di tanah Priangan, kini berkembang menjadi salah satu simbol budaya Jawa Barat. Tradisi ini tidak hanya menghidupkan semangat masyarakat lokal tetapi juga membawa dampak ekonomi yang signifikan, meskipun tak lepas dari kontroversi.

Menurut Arief Syaefudin, seorang peternak dari PDP Surya Alam, domba adu lebih dari sekadar hiburan rakyat. “Tradisi ini mencerminkan bagaimana masyarakat Sunda mengapresiasi alam, hewan, dan nilai kehidupan. Ini bukan hanya soal adu kekuatan, tetapi tentang bagaimana kita menjaga warisan budaya di tengah modernisasi,” katanya, Selasa,(19/11/2024).

Tradisi domba adu bermula dari kebiasaan peternak yang menguji kekuatan domba jantan mereka melalui adu tanduk. Lambat laun, kegiatan ini menjadi ajang perlombaan resmi dengan aturan yang terstruktur. Domba Garut, spesies unggulan yang dikenal dengan fisik gagah, tanduk melengkung, dan bulu lebat, menjadi ikon utama tradisi ini.

Baca Juga :  Pecinta Mobil Nissan Serena, Kumpul Bareng di Jawa Tengah.

Arief, menegaskan bahwa perawatan domba adalah kunci keberhasilan di arena. “Domba ini tidak hanya dilatih fisik, tetapi juga diberikan perhatian penuh, mulai dari makanan bergizi, latihan khusus, hingga perawatan kesehatan. Ini adalah wujud penghormatan kami terhadap hewan sekaligus budaya yang kami junjung tinggi,” jelasnya.

Domba yang akan bertanding dipilih melalui seleksi ketat, memastikan bahwa hanya domba dalam kondisi prima yang masuk arena. Pertandingan dilakukan di lapangan khusus dengan pengawasan ketat dari wasit dan panitia untuk menjamin keselamatan hewan.

Lebih dari sekadar tontonan, domba adu mengandung filosofi kehidupan yang mendalam. Arief Syaefudin menjelaskan, tradisi ini mencerminkan nilai kekuatan, ketahanan, dan sportivitas. Domba yang bertanding adalah cerminan dari perjuangan hidup yang membutuhkan daya juang, keteguhan, dan keberanian.

Selain itu, domba adu juga menjadi ajang sosial yang mempererat hubungan masyarakat. Pertandingan biasanya dihadiri oleh berbagai kalangan, dari peternak, tokoh masyarakat, hingga wisatawan. Ini adalah ruang untuk bersilaturahmi, berbagi pengalaman, dan memperkuat kebersamaan.

Arief pun menjelaskan, untuk menjaga kesejahteraan hewan, pertandingan domba adu diatur dengan regulasi yang ketat, Kesehatan Domba, Domba yang sakit atau tidak fit dilarang bertanding. Batas Jumlah Tabrakan, Pertandingan dibatasi hingga maksimal 20 tabrakan per sesi untuk mencegah kelelahan berlebih. Pengawasan Ketat, Wasit dan panitia memastikan tidak ada kecurangan, serta segera menghentikan pertandingan jika salah satu domba terlihat cedera atau tidak mampu melanjutkan.

Baca Juga :  Pemkab Tasik Dorong UMKM Lokal Dipasarkan di Pasar Ramadan

“Keselamatan domba adalah prioritas. Jika domba terlihat lemah, kami segera menghentikan pertandingan. Kami ingin tradisi ini terus berjalan tanpa mengorbankan hewan,” ujarnya.

Selain menjadi warisan budaya, domba adu juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Peternak domba unggulan dapat menjual domba dengan harga tinggi, mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Selain itu, acara pertandingan sering menarik sponsor, pedagang, dan wisatawan, memberikan pemasukan bagi masyarakat setempat.

“Domba adu bukan hanya tradisi, tetapi juga mendukung perekonomian masyarakat. Banyak peternak kecil yang kini berkembang berkat tradisi ini,” ungkap Arief.

Arief Syaefudin menambahkan bahwa tradisi ini juga memiliki daya tarik wisata yang besar. “Banyak wisatawan lokal dan mancanegara yang tertarik melihat langsung pertandingan domba adu. Ini adalah kesempatan untuk memperkenalkan budaya Sunda ke dunia internasional,” katanya.

Baca Juga :  Sorotan Musrenbang RPJPD dan RKPD Provinsi Jawa Barat Tahun 2025-2045

Namun, domba adu tidak luput dari kritik, khususnya dari kelompok pecinta hewan yang menyoroti aspek kekerasan dalam tradisi ini. Kritik tersebut memicu sejumlah penyelenggara untuk memperbarui regulasi yang lebih berfokus pada kesejahteraan hewan.

“Kami sadar akan kritik tersebut dan terus berupaya memperbaiki regulasi. Intinya, kami ingin tradisi ini tetap lestari tanpa mengurangi rasa hormat terhadap hewan,” ujar Arief.

Di tengah modernisasi, domba adu menghadapi tantangan untuk tetap relevan. Namun, dengan pengelolaan yang bijak, tradisi ini memiliki peluang besar untuk berkembang sebagai warisan budaya dunia.

“Domba adu adalah identitas kita. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi kebanggaan budaya yang tidak hanya memperkuat identitas lokal tetapi juga menginspirasi global,” pungkas Arief.

Tradisi ini mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan kearifan lokal di tengah perubahan zaman. Domba adu bukan sekadar hiburan, tetapi cerminan filosofi hidup, solidaritas, dan kebanggaan budaya yang terus relevan hingga hari ini.