Bandung, Jabartrust.com – Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Netty Prasetiyani Heryawan mengajak warga di Kabupaten Bandung Barat (KBB) untuk bersama-sama mencegah stunting. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun keluarga berkualitas. Potensi kelahiran bayi stunting bisa dihindari manakala setiap keluarga menjalankan empat syarat utama terwujudnya keluarga berkualitas.
“Kita semua adalah produk keluarga. Apa yang ditanamkan di keluarga sedikit banyak berpengaruh pada cara berpikir kita. Makanya kalau kita ingin anak kita saleh, berarti siapa yang harus terlebih dahulu saleh? Siapa yang terlebih dahulu mencari nafkah yang halal, siapa yang harus terlebih dahulu menghindari anak dari kekerasan atau narkoba? Jawabannya adalah keluarga,” tandas Netty saat menjadi narasumber kegiatan Promosi dan KIE Program Percepatan Penurunan Stunting di Wilayah Khusus di Kelurahan Tanimulya, Kecamatan Ngamprah, KBB, pada Jumat sore, 21 Juni 2024.
“Jangan doanya ingin anak saleh tapi bapaknya mabuk-mabukan. Jangan ingin anak saleh tapi bapaknya menghabiskan duit buat beli telur untuk judi online. Janji? Janji sayang keluarga? Jangan sampai meninggalkan masalah di masa yang akan datang. Kuncinya adalah keluarga. Karena itu, saya ingin berpesan, ‘Ayo kita bangun keluarga yang berkualitas! Ayo bangun KB. KB-nya bukan hanya keluarga berencana, tapi juga keluarga berkualitas,” sambung Netty.
Netty lantas merinci empat syarat utama untuk mewujudkan keluarga berkualitas. Pertama, punya visi yang benar. Visi yang benar itu adalah menikah untuk ibadah. Dia mengingatkan bahwa menikah bukan untuk memukuli istri. Menikah bukan untuk menyengsarakan anak orang. Sebaliknya, menikah adalah upaya membahagiakan istri, membahagian anak. Untuk ibadah.
“Bukan gak apa-apa sekarang nikah, nanti setelah ‘turun mesin’ 2-3 kali kita ceraikan saja. Nyari daun muda. Itu parah. Itu visi keluarga yang parah. Itu gak benar!” tegas Netty.
Syarat kedua adalah perencanaan keluarga. Perencanaan setidaknya dalam merencanakan usia pada saat menikah. Penting bagi para remaja untuk memahami untuk merencanakan menikah pada usia aman dan tepat. Laki-laki menikah pada usia sekurang-kurangnya 25 tahun dan perempuan pada usia sekurangnya 21 tahun.
“Kenapa? Kalau 14 tahun nikah, kira-kira suaminya umur berapa? Usia 17 misalnya. Udah bisa kerja belum usia segitu? Baru lulus sekolah baru bisa main tali terus nikah. Nah, gimana gak stunting wong dia juga makannya makan seblak, makan ciki, makan gorengan. Dia gak tahu apa yang dikandungnya harus diapakan,” papar Netty.
“Makanya wajar pernikahan pada usia yang yang tidak aman dan tidak tepat akan melahirkan bayi yang stunting. Jadi, minimal perencanaan itu pada aspek usia. Anak perempuan diharapkan sudah lulus sekolah, laki-laki sudah punya pekerjaan. Jadi, bukan cuma pacaran makan cinta. Waktu melahirkan tetap si ibu butuh nasi, butuh telur, butuh daging, butuh ikan. Makanan bergizi. Makanya perencanaan ekonomi harus dilakukan. Makanya seperti kata BKKBN, berencana itu keren!” sambungnya.
Syarat ketiga adalah ketahanan keluarga. Keluarga harus punya daya tahan. Saat rejeki suami lagi surut, lagi kurang, istri menguatkan, mendoakan. Harus punya ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga dimulai dari ketahanan fisik. Ada tempat di mana ada tempat berteduh, terbebas dari panas, dari hujan. Itulah ketahanan dalam dimensi fisik.
Tidak kalah pentingnya adalah ketahanan spiritual. Netty mencontohkan adanya kasus seorang ibu menyuruh anaknya melakukan adegan seksual dan direkam. Atau ada seorang ibu yang mencabuli anak laki-lakinya berusia lima tahun. Itulah contoh orang-orang yang tumbuh tanpa nilai agama. Berani melakukan tindakan di luar kaidah agama, di luar nalar.
“Itu sudah tidak waras. Tidak memiliki pemahaman agama yang utuh, sehingga perilaku di luar nalar dilakukan seperti itu,” ujarnya geram.
Ketahanan psikologis sama pentingnya. Wakil rakyat daerah pemilihan Cirebon dan Indramayu ini mengingatkan bahwa setiap anak itu unik. Orang tua tidak boleh memperlakukan anak secara seragam. Bukan tidak mungkin anak nomor satu pintar dalam matematika, lalu anak kedua pintar dalam fisika.
“Waktu bayi juga sama. Ada yang cepat bisa jalan, ada yang lebih lambat. Itu tidak boleh dibanding-bandingke. Makanya penting ketahanan psikologis,” tandas Netty.
“Terakhir adalah ketahanan sosial. Kita harus menjadi masyarakat yang guyub karena tetangga kita adalah keluarga kita. Kita kekurangan kunyit, ngetok pintu tetangga. Kita kurang daun salam, kita masuk dapur tetangga. Betul tidak? Jadi, harus baik sama tetangga,” Netty mencontohkan.
Syarat terakhir adalah pengasuhan benar dan tepat. Jangan salah, belakanga muncul kasus anak yang pada saat lahir laki-laki, dewasanya jadi perempuan. Kemudian ada anak laki-laki belum 17 tahun merayakan ulah tahun berdua dengan pacarnya di Bali.
“Itu adalah buah pengasuhan yang tidak tepat. Itulah makanya harus menjadi pegangan bahwa membangun keluarga berkualitas harus dimulai dari visi yang benar. Direncanakan dengan benar. Lalu memiliki ketahanan keluarga. Terakhir, pengasuhan yang benar dan tepat,” pungkas Netty.
Di tempat yang sama, Sekretaris Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jawa Barat Kukuh Dwi Setiawan mengajak keluarga di KBB untuk secara aktif memanfaatkan fasilitas layanan publik dalam upaya mencegah stunting. Salah satunya dalam rangka Gerakan Serentak Pencegahan Stunting melalui pemeriksaan di pos pelayanan terpadu (Posyandu).
“Ada salah satu masalah di KBB saat ini adalah rendahnya kehadiran di posyandu. Sampai saat ini baru 59 persen ibu hamil, baduta, dan balita yang hadir dan diperiksa di posyandu. Saya berharap pada Juni ini seluruh ibu hamil, baduta, dan balita untuk hadir di posyandu. Ini penting agar data prevalensi stunting bisa diketahui secara akurat,” ungkap Kukuh.
Kukuh menjelaskan bahwa posyandu merupakan layanan pertama dalam pencegahan stunting yang dapat diakses masyarakat. Jika di posyandu ditemukan masalah, selanjutnya bisa datang ke pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama, puskesmas sudah dilengkapi dengan ahli gizi, bidan, dan dokter.
“Yang paling dekat terlebih dahulu. Jangan karena kesibukan, jadi ada pembiaran. Pemerintah sudah banyak menyediakan fasilitas pelayanan kepada masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah masyarakat berperan aktif untuk mengakses layanan di posyandu atau puskemsas. Nanti kalau sudah datang ke posyandu kira-kira ada potensi permasalahan, nanti tim pendamping keluarga (TPK) akan merujuk ke fasilitas kesehatan dan memberikan pemahaman apa yang harus dilakukan,” terang Kukuh.
Di bagian lain Kukuh mengingatkan pentingnya penyediaan air bersih dan sanitasi yang sehat untuk mencegah stunting. Air merupakan sebagai sumber utama untuk mengolah aneka jenis makanan. Jika air tidak bersih atau tidak layak, itu jadi sumber stunting.
“Terakhir mengenai sanitasi. Saya berharap di KBB tidak ada lagi yang buang air besar di lahan kosong atau di sungai. Saya berharap bisa dilakukan melalui jamban sehat. Air bersih dan sanitasi merupakan salah satu prasyarat anak-anak kita terbebas dari stunting” tegas Kukuh. (Nonu)