JABARTRUST.COM, – Letnan Jenderal TNI (Purn) Prof Dr dr Terawan Agus Putranto Sp.Rad(K), dinyatakan dipecat dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), salah satunya adalah karena melakukan promosi Vaksin Nusantara sebelum penelitiannya selesai, hal tersebut diunggah berdasar surat Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat IDI oleh anggota IDI yang juga merupakan Epidemiolog asal UI Pandu Riono lewat akun media sosial Twitternya.
“kasus pelanggaran etika berat dokter terawan cukup panjang, investigasi sudah dilakukan sejak tahun 2013” Cuit Pandu Sabtu (26/3/2022).
Mengulas sedikit kebelakang, pada pertengahan bulan Agustus 2021 imunoterapi dengan dendritik sel saat itu diungkapkan terawan sudah siap masuk fase ketiga.
Hal tersebut diperkuat seiring dengan World Health Organization (WHO alias Organisasi Kesehatan Dunia) menyatakan sudah menerima laporan hasil ujiklinis vaksin nusantara.
Hal itu pun tertera dalam jurnal Preventive Dendritic Cell Vaccine, AV-COVID-19, in Subjects Not Actively Infected With COVID-19 yang dipublikasi oleh clinicaltrials.gov
Meski WHO menyatakan sudah menerima hasil uji klinis fase ke-2 Vaksin Nusantara, justru BPOM tak meluluskan uji klinis Vaksin Nusantara sejak fase kesatu.
Berikut 5 temuan BPOM, yang mengganjal uji klinis Vaksin Nusantara:
1.Uji klinis Vaksin Nusantara berjalan tanpa pengawasan.
Uji klinis tahap satu Vaksin Nusantara di RS Kariadi disebut berjalan tanpa pengawasan Komite Etik. Padahal, menurut Kepala BPOM Penny Lukito, komite etik di lokasi penelitian harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji klinik dan subjek penelitian.
Dalam kasus ini, penelitian dilakukan di RSUP Dr Kariadi, Semarang, bekerja sama dengan Universitas Diponegoro, Jawa Tengah. Sehingga, Penny menyebut RS Kariadi harus mempunyai komite etik yang mengawasi uji klinik di rumah sakit mereka.
Akan tetapi, komite etiknya justru berada di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. “Saya kira di awal itu tidak ada pembuktian bahwa keselamatan subjek penelitian itu jadi tanggung jawab komite etik,” kata Penny.
- Uji klinis I tak memenuhi good clinical practice
Salinan laporan BPOM terhadap hasil uji klinis fase 1 Vaksin Dendritik (AV-Covid19) alias Vaksin Nusantara menyebutkan aspek cara uji klinik yang baik memang tak terpenuhi.
BPOM menemukan bahwa dari data baseline imunogenitas yang diserahkan, semua subjek yang diuji klinis ternyata sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19. Padahal seharusnya subjek yang diuji belum terpapar.
Selain itu, dokumen ini menyebutkan penelitian vaksin yang dikembangkan oleh Terawan ini juga belum memenuhi aspek cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Lalu dari evaluasi imunogenitas, didapatkan 8 subjek (28,57 persen) yang mengalami penurunan kadar antibodi setelah 4 minggu vaksinasi dibandingkan dengan baseline.
- Tak memenuhi konsep pembuktian
Penny menuturkan proof of concept dari Vaksin Nusantara juga belum terpenuhi. Antigen yang digunakan pada vaksin tersebut juga tidak memenuhi pharmaceutical grade.
Hasil dari uji klinis fase 1 terkait keamanan, efektivitas atau kemampuan potensi imunogenitas untuk meningkatkan antibodi juga belum meyakinkan. Sehingga penelitian vaksin ini memang belum bisa melangkah untuk fase selanjutnya.
Meski begitu, Penny menuturkan pihaknya tidak menghentikan vaksin Nusantara. Tim peneliti perlu melakukan perbaikan dan menyampaikan perbaikan kepada BPOM sebagaimana hasil review yang diberikan BPOM kepada tim peneliti vaksin Nusantara.
“Silakan diperbaiki proof of concept-nya, kemudian data-data yang dibutuhkan untuk pembuktian kesahihan validitas dari tahap 1 clinical trial, barulah kalau itu semua terpenuhi barulah kita putuskan apakah mungkin untuk melangkah ke fase selanjutnya,” tuturnya.
- Belum diujicobakan ke hewan
Anggota Tim Advokasi Vaksin Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Erlina Burhan, menjelaskan tim Vaksin Nusantara tidak bisa memenuhi permintaan BPOM terkait hasil laporan studi toksisitas, imugenesitas dan studi lain untuk mendukung pemilihan dosis dan rute.
Sebagai gantinya, tim menyebut vaksin sudah digunakan pada manusia dan bersifat autologus.
Padahal menurut Erlina, dalam langkah atau proses uji klinis pengembangan vaksin nusantara haruslah melalui studi praklinis terlebih dahulu, sebelum berlanjut ke uji klinis fase 1, II, III dan IV. “Mereka tidak melalui uji praklinik terhadap binatang,” ujar dia.***