JABARTRUST.COM, BANDUNG – Sudah lebih dari empat bulan, warga di Lengkong Kecil, Bandung, hidup dalam krisis air bersih yang terus memburuk. Situasi ini tak hanya merusak rutinitas harian, tetapi juga mengguncang stabilitas fisik dan mental masyarakat. Yayat, salah satu warga yang merasakan dampaknya, menggambarkan perjuangannya setiap hari untuk memastikan keluarganya tetap bisa bertahan hidup. “Setiap pagi dan malam, saya harus mengantre air di sumber lain yang jaraknya cukup jauh, bahkan menunggu hingga dini hari. Kami harus membawa jeriken dan ember berulang kali hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti minum, masak, dan mandi,” ungkap Yayat, dengan mata penuh kelelahan, Rabu, (06/11/2024).
Rana, kepala keluarga yang juga tinggal di kawasan itu, menjelaskan bagaimana krisis air ini memengaruhi kehidupan keluarganya. “Anak-anak saya butuh air untuk mandi sebelum sekolah, untuk minum, dan menjaga kebersihan. Tapi tanpa air, segalanya menjadi sangat sulit. Kami tidak bisa hanya mengandalkan air galon yang dibeli, karena biaya tambahan itu lama-lama menguras keuangan,” ujarnya dengan nada prihatin. Menurut Rana, keluarga-keluarga di daerah tersebut harus mengambil air dari sumber lain yang sudah mulai penuh sesak dengan antrean panjang.
Amarah warga semakin membara ketika PDAM masih menagih pembayaran bulanan meskipun air tidak mengalir. “Kami bayar tagihan seperti biasa, tapi apa yang kami dapat? Hanya keringat dan waktu yang terbuang untuk mencari air,” kata Yayat dengan suara keras. Warga mengaku sudah berulang kali meminta penjelasan kepada petugas PDAM yang datang hanya untuk memeriksa meteran. “Jawaban mereka selalu sama, ‘nanti’. Tidak ada transparansi, tidak ada solusi,” tegas Rana.
Warga merasakan ketidakadilan yang mendalam karena merasa diabaikan oleh pemerintah dan pihak terkait. Menurut mereka, kondisi ini menunjukkan lemahnya pengelolaan infrastruktur air bersih yang seharusnya menjadi prioritas, terutama di kota besar seperti Bandung. “Kami tidak meminta hal yang mewah, hanya air bersih yang seharusnya menjadi hak dasar setiap warga,” tambah Yayat.
Krisis air ini tidak hanya berdampak pada kebutuhan rumah tangga tetapi juga menimbulkan efek domino bagi ekonomi lokal. Banyak pedagang kecil di kawasan tersebut yang harus mengurangi produksi atau bahkan menutup usaha sementara karena tidak adanya pasokan air. “Bayangkan, bagaimana kami bisa menjalankan usaha makanan atau minuman tanpa air? Kami harus membeli air dalam jumlah besar, dan itu menaikkan biaya produksi, sementara pelanggan tidak mau membayar lebih,” jelas Rana yang juga membuka usaha kecil-kecilan di rumahnya.
Kebutuhan akan solusi nyata semakin mendesak. Warga berharap PDAM dan pemerintah daerah segera memberikan penjelasan mengenai penyebab gangguan aliran air dan rencana pemulihannya. “Kami ingin kejelasan. Bukan janji-janji yang terus diulur tanpa bukti,” ujar Yayat dengan tegas. Rana menambahkan bahwa jika situasi ini berlanjut tanpa intervensi serius, warga berencana untuk mengambil langkah-langkah lebih jauh, termasuk aksi protes.
“Kami ingin mereka tahu bahwa ini bukan hanya soal tidak ada air. Ini soal hak kami sebagai warga, soal kehidupan sehari-hari yang layak,” tutup Rana, menekankan pentingnya perhatian pemerintah dan pihak PDAM untuk segera mengakhiri krisis air bersih ini sebelum memicu ketegangan yang lebih besar.
Kini, harapan warga Lengkong Kecil tertumpu pada langkah konkret yang dapat mengembalikan hak dasar mereka pasokan air bersih yang aman dan memadai.