Antara Penataan, Pemberdayaan, dan Ironi di Lapangan yang Masih Sarat Pungli dan Jual Beli Lapak

JABARTRUST.COM, BANDUNG – Sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bandung, keberadaan berbagai peraturan penataan dan pemberdayaan seharusnya memberikan kami harapan akan kondisi yang lebih teratur dan nyaman. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak hal yang belum sesuai dengan tujuan tersebut. Selain ketatnya aturan penertiban, kami juga dihadapkan dengan berbagai persoalan lain, seperti pungutan liar, jual beli lapak, dan ketidakjelasan zona berdagang yang membuat kami semakin sulit untuk menjalankan usaha.

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 04 Tahun 2011 dan Peraturan Wali Kota Bandung Nomor 888 Tahun 2012 yang seharusnya membatasi PKL hanya berjualan di lokasi tertentu, sering kali tidak ditegakkan secara konsisten. Buktinya, masih banyak zona merah tempat yang seharusnya steril dari PKL seperti sekitar sekolah dan area tertentu yang tetap dijadikan lokasi berdagang dengan sistem “bawah tangan.” Tidak sedikit dari kami yang merasa terpaksa untuk membayar pungutan liar agar bisa tetap berjualan di area tersebut, terutama di tempat-tempat yang memiliki potensi besar untuk menarik pelanggan.

Baca Juga :  Politik Kabupaten Bandung Makin Memanas Laporan KPK dan Isu SARA Picu Ketegangan Sengit

Putut Premihadi, salah satu perwakilan PKL yang ditemui di Jl. Lengkong Kecil, Bandung, (29/10/2024), mengungkapkan, “Kami sering kali diminta untuk membayar sejumlah uang oleh oknum-oknum tertentu agar tetap bisa berjualan di area yang dianggap strategis, bahkan di zona merah sekalipun. Praktik jual beli lapak seperti ini membuat situasi semakin sulit, karena kami yang ingin berjualan dengan jujur dan mengikuti aturan justru sering merasa tersisih,” ujar Putut dengan nada kecewa.

Putut juga menyoroti adanya sponsor yang pada awalnya digagas untuk membantu PKL dengan menyediakan fasilitas seperti tenda, tetapi justru kerap berubah fungsi. Bantuan sponsor yang seharusnya bertujuan memberdayakan PKL malah disalahgunakan dengan biaya sewa yang tinggi, atau bahkan hak penggunaan yang berpindah ke pihak lain yang bukan PKL. “Sponsor memang membantu menyediakan fasilitas, tapi sering kali fasilitas itu menjadi komoditas. PKL harus membayar lebih mahal atau bahkan membayar untuk menggunakan fasilitas tersebut jika tidak mengikuti keinginan pihak tertentu,” tambahnya.

Baca Juga :  Tampung Aspirasi Nelayan, Asep Dzulfikri Siap Lanjutkan Visi Religius Islami

Selain itu, meskipun sudah ada satuan tugas khusus untuk menata PKL sebagaimana tertuang dalam Keputusan Wali Kota No. 511.23/KEP 499.DIS.KUMKM/2017, pendekatan yang digunakan lebih sering mengedepankan penertiban tanpa memberikan solusi yang manusiawi dan berkelanjutan. Praktik pungli dan jual beli lapak justru menjadi permasalahan yang tidak tersentuh oleh tim penertiban. “Kami berharap penataan ini tidak hanya sekadar memindahkan kami dari satu lokasi ke lokasi lain, tapi benar-benar memberi fasilitasi tempat yang layak untuk berdagang tanpa perlu membayar pungutan liar. Kami butuh solusi nyata,” ujar Putut.

Ironisnya, praktik-praktik yang tidak sesuai aturan ini justru terjadi, sementara kami yang mengikuti aturan sering kali merasa terbebani oleh banyak ketentuan dan sering kali tidak mendapatkan tempat. Padahal, Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 menekankan pemberdayaan, bukan sekadar penertiban.

Baca Juga :  Iriana Jokowi Dodo Berikan Penghargaan untuk 225 Bunda Paud di Tanah Air

Dari sudut pandang kami sebagai PKL, hal ini menunjukkan perlunya kebijakan yang tidak hanya fokus pada pengaturan dan penertiban lokasi tetapi juga pada pengawasan terhadap praktik-praktik pungli, jual beli lapak, dan penyalahgunaan fasilitas sponsor. Kami berharap pemerintah lebih tegas dalam menindak oknum yang mengambil keuntungan pribadi dari situasi ini, sehingga kami bisa berdagang dengan tenang tanpa beban tambahan yang tidak seharusnya ada.

“Kami hanya ingin mencari nafkah dengan tenang. Dengan adanya peraturan, kami mendukung ketertiban, tetapi tanpa adanya pungutan liar dan dengan fasilitas yang memang diperuntukkan bagi kami,” tutup Putut dengan harapan agar pemerintah bisa menciptakan sistem yang lebih adil bagi para PKL di Kota Bandung.