JABARTRUST.COM, BANDUNG – Sebuah aksi demonstrasi yang mengepulkan semangat teguh telah menggelinding di kawasan City Garden Residence (CGR), Kota Bandung. Penduduk kompleks mewah ini berdiri bersama, menggelar aksi menentang rencana ambisius pemerintah untuk membangun Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di daerah Cicabe yang begitu strategis. Namun, semangat mereka terasa membuncah seperti gunung berapi yang bersemayam dalam diam.
Pada hari Selasa yang cerah, para demonstran telah mengambil posisi di depan kantor pusat daur ulang Kota Bandung, tempat di mana aspirasi dan kegelisahan mereka memancar dengan kuat. Ketua Paguyuban Warga CGR, Muhammad Arfan, tak berdiam diri. Dengan tegas, ia menjelaskan esensi dari perlawanan mereka terhadap rencana berani ini.
“Kami tidak hanya mengarahkan pesan ini kepada camat, tetapi juga menyampaikannya dengan keras: bagaimana bisa sebuah fasilitas dengan skala sebesar pabrik dibangun di sini? Mesin bergetar, beban berat, semua itu akan menghiasi area ini. Namun, pertanyaannya adalah apakah tanah ini sanggup menahan beban tersebut?” ujar Arfan, sembari mengamati gedung perkantoran di depannya.
Argumen mereka begitu kuat seperti batu karang. Ada sekitar 175 kepala keluarga yang tak lain adalah tetangga mereka, hidup di bawah tanah yang akan diubah menjadi tempat pembuangan sampah terpadu. Kekhawatiran menghantui mereka; takut akan tumpukan sampah yang meluber dan merenggut ketenangan rumah tangga.
“Sangat berisiko. Longsor bisa menghancurkan segalanya—tanah dan sampah akan menimpa warga. Kami tidak ingin hidup kami dipertaruhkan. Kami tidak ingin menjadi korban,” tegasnya dengan wajah penuh tekad.
Namun, hiruk-pikuk dan ketidakpastian bukanlah satu-satunya hal yang mereka khawatirkan. Arfan dan sekumpulan warga mengusung kegelisahan lain, yang lebih tersembunyi seperti angin malam yang mengendap di sudut-sudut gelap. Mereka membawa isu pencemaran udara, yang menyeruak ketika TPST Cicabe nanti beroperasi. Selain itu, jalanan yang sempit tak berdaya menghadapi derasnya arus lalu lintas kendaraan berat yang akan mengalir.
“Bau busuk sudah diberi tahu akan datang. Tetapi tetap saja, bau akan tetap bau. Kami juga khawatir bahwa segala macam sampah dan limbah akan tersebar begitu saja di jalanan ini. Semua yang kami tolak, itu ada di sana,” jelasnya dengan nada serius.
Bahkan dalam keberatan mereka, Arfan juga mengakui pentingnya TPST untuk pengelolaan sampah kota. Namun, ia bersikeras bahwa solusi ini tidak boleh muncul di bawah hidung mereka di Cicabe.
“Kami bukan menolak TPST secara keseluruhan. Kami hanya meminta untuk direlokasi, untuk tidak dibangun di dekat rumah kami. Kami mendukung Citarum Harum, ini adalah langkah baik. Tetapi lokasinya harus ditempatkan di tempat yang tepat,” tutupnya dengan tegas.
Di bawah cahaya matahari yang menghangat, para penduduk CGR tak hanya memprotes, tetapi juga membawa pesan yang nyaring. Pesan yang menunjukkan mereka bukan hanya sekadar penghuni, tetapi penjaga keberlanjutan dan kualitas hidup wilayah yang mereka cintai. Berikut adalah beberapa poin keberatan yang diusung oleh mereka:
• Pencemaran Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Mereka mengingatkan bahwa TPST yang terlalu dekat dengan pemukiman melanggar prinsip Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan jarak yang kurang dari 120 meter.
• Ancaman Struktur Tanah
Mereka merasa bahwa bekas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang akan menjadi lokasi TPST tidak cocok untuk aktivitas berat seperti ini. Kemungkinan longsor dan keruntuhan bangunan menghantui.
• Kendala Akses Jalan
Mereka menyoroti bahwa jalur menuju bekas TPA Cicabe tak mampu menanggung lalu lintas kendaraan berat yang akan datang.
• Kehidupan Lingkungan
Mereka meragukan apakah ada rencana konkret untuk mengantisipasi dampak buruk terhadap lingkungan dan kualitas hidup warga.
• Partisipasi Warga
Mereka menunjukkan bahwa proses perencanaan dan persetujuan TPST harus melibatkan warga, sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2008.
*(Fitho)